KML

Sebuah prestasi, yang menurut diriku tujuh tahun lalu, adalah tingkatan paling tinggi dalam Gerakan Pramuka. Pasalanya, pembina serta guru terbaik saya selama sekolah adalah benar-benar Pembina dengan Ijazah KML. Berkat tangan dingin beliau lah, generasi-generasi muda (termasuk saya) tumbuh dengan rasa nasionalis, peduli, tanggungjawab, cekatan, problem solver dan dengan karakter2 baik lain. Melalui pengalaman beliau juga, saya pribadi banyak sekali belajar bahwa untuk menjadi pribadi yang kuat, kita harus tumbuh di tanah yang paling tandus. Tempaan, kegagalan, merupakan ujian kita sebenarnya untuk menjadi kuat dan semakin di depan.

Dan kini, 2018 saya telah sampai pada titik ini, menjadi pemilik sah atas Ijazah Kursus Pembina Pramuka Mahir Tingkat Lanjutan. Lantas, apa masalahnya?
Dari lubuk hati yabg paling dalam, sesungguhnya saya merasa sangat malu, atas ketidakseimbangan pengetahuan dan keterampilan yang saya miliki dengan penghargaan yang saya kantongi.

Menjadi pembina, memang tak serumit menjadi pendidik. Rencana Membina yang disiapkan pun tak setebal Rencana Pelaksanaan Pembelajaran. Jam latihan pun juga tak sebanding dengan jam belajar pendidikan formal. Namun, disitulah letak tantangannya. Dalam waktu yang singkat, dengan persiapan yang sederhana, mampukah seorang pembina menanamkan karakter pada para peserta didik menggunakan cara yang menarik, menantang dan menyenangkan? Sehingga peserta didik juga tidak merasa sedang dipaksa untuk melakukan tindakan – tindakan.?

Prigen, 21 Juli 2018

Jari-Jari Tangan

Entah akhir-akhir ini kenapa pembahasan agak serius tentang menikah lagi tren di berbagai topik pembicaraan. Aku jadi ingat, nasihat penting pada saat awal masuk kuliah, -tujuh bulan lalu.

Beliau menunjukkan, bahwa penamaan jari-jari tangan tidak lepas dari makna filosofis yang dalam.

Sebut saja- Ibu jari/ jempol. Bentuknya pendek, gemuk, sesuai dengan bodi ibu-ibu bukan? 😅
Tapi bukan itu arti pentingnya. Coba satukan jari telunjuk, tengah, manis dan kelingking ke ibu jari secara bergantian. Mudah bukan? Bahkan sangat mudah. Itulah hakikatnya seorang ibu bisa dengan leluasa dekat dengan anggota keluarga yang lain..

Jari kelingking sebagai ayah. Selain karena letaknya di paling ujung yang bertugas melindungi anak-2nya, coba dekatkan jari telunjuk, tengah dan manis? Susah kan? Butuh perjuangan berat untuk sekadar menempelkan mereka. Tapi justru kelingking dengan mudahnya menempel ke ibu jari.
Itulah, tersirat bahwa kodratnya seorang ayah cenderung dekat sekali dengan ibu, namun tidak dengan anak.

Lalu, bagaimana agar ayah dan anak bisa dekat dengan mudah?
Satukan kelingking dan ibu jari, dekatkan telunjuk, tengah dan manis. Mudah bukan? 😊

Begitulah, pentingnya menjaga hubungan baik antara suami dan istri. Agar semua anak-anak akan merasa dekat dan nyaman menjadi bagian dari anggota keluarga.
Buakankah keluarga adalah tempat pulang? Saat segala tuntutan kehidupan terasa menyesakkan, keluarga lah tempat ternyaman lagi menentramkan. Saat segala hiruk pikuk dunia membebani, satu senyuman dari orang terkasih di keluarga akan melenyapkan seketika.

Maka, sebelum benar-benar kamu memutuskan memilih seseorang sebagai pasangan hidup, coba rasakan, apakah ketika bersama, mampu menjadi sepasang ibu jari dan kelingking yang senantiasa saling terkait?

#Asrama Putri UNESA, 9 Agustus 2018

Sebuah Pertanyaan

“Kok diam aja, lagi mikir apa?”, sapaku

“Eh, nggak. Nggak mikir apa-apa kok”, jawabnya setengah kaget melihat kedatanganku tiba-tiba.

“Udah, jujur aja. Mata mu nggak bisa bohong.”

Dia menatapku mantap.
“Aku mau tanya, kau lebih pilih mana, terjebak dalam hubungan tanpa status atau status tanpa hubungan?”

Aku tertawa.
“Pertanyaan mu susah sekali, mana semalam enggak belajar lagi?”

“Haha, selalu begitu. Aku lagi belajar aja memposisikan diri dari berbagai sudut pandang. Lebih sakit mana rasanya”.

“Ah, ini soal perasaan. Kenapa kamu sesantai itu membahasnya?”…

~Hening, dan pandangan kita tertuju pada sebuah perahu kecil terombang-ambing di tepi Dermaga – tempat kesukaan kita. .

.

Aku selalu kagum padanya, pada pemikirannya, pada sikapnya, pada semua tentang dia. Pertanyaan yang tiba-tiba dia ungkapkan, membuatku mati kutu. Gadis paling tidak peka seantero jagad raya ini jangan-jangan mulai sadar. Ah, tidak. Dia orangnya cuek, mana mungkin terbuka hatinya? Tapi, pada dasarnya bukankah semua perempuan punya bakat terpendam untuk menelaah dan menganalisis kode-kode kecil lagi tak penting, menjadi isu besar-besaran?

Ah kamu, seharusnya kamu sadar.
Bahwa, sekarang pun, salah satu pertanyaanmu hampir mendapat jawaban.

Babatan, 08-08-18 ; 12.35

Ramadhan di Surabayaku, disambut pesta Terorisme.

Setelah berbulan lalu kami berdoa bersama “Allahumma bariklana fii rajaba wa sya’bana, wa balighna Romadhona, waghfirlana dzunubana”. Saat Ramadhan sudah sejengkal lagi ditapaki, dan seakan percaya diri sekali bahwa diri ini pasti menemui. Tapi, sungguh benar firman Allah bahwa datangnya kematian tidak perlu pamitan. Surabaya, oh Surabaya…

Minggu pagi, sekitar pukul 07.00, aku mendengar temanku membaca berita dari ponselnya. Meledaknya bom di salah satu Gereja, tapi aku cuek. Karena pada waktu itu aku akan turun ke lantai satu mengambil sarapan. Pikirku adalah berita yang biasa saja. Waktu bergulir, story di wa, Instagram sudah pada ramai membuat hastag #suroboyowani. Aku jadi ikut-ikutan prihatin, masalahnya ini Surabaya woy..kota aman, toleransi tinggi, kenapa tiba-tiba jadi sasaran bom? Miris melihat video-video yang tersebar, detik-detik mematikan. Betapa Allah Maha Kuasa atas segala ketentuan-Nya.

Malam menjelang, masih dalam suasana hati yang kalut. Terdengar kabar Rusunawa di Wonocolo meledak lagi, padahal tubuh sudah siap-siap berbaring. Subhanallah… aku memikirkan hal-hal yang sangat mungkin terjadi: ajal menjemputku sebelum Ramadhan. Aku jadi susah mengawali tidur, terbayang dosa dan semua tingkahku selama ini. Kewajiban-kewajiban yang belum terselesaikan, janji yang belum terbayarkan, hutang yang belum terlunaskan dan kesalahan yang belum termaafkan. Sungguh, malam itu aku benar-benar takut mati. Istighfar tak henti-hentinya kulantunkan, meski dalam hati. Sebagai wujud penentram, penenang, dan kerelaan terhadap kuasa Tuhan, jikalau (tidak berharap) mungkin aku adalah salah satu korban meledaknya bom di sekitar Surabaya malam ini, setidaknya aku mati dalam kondisi tidur yang berdzikir kepada Allah.

Pagi menjelang, betapa bersyukurnya aku masih diberi kesempatan untuk membuka mata. Namun, kekalutanku tetap saja masih sama dengan yang kemarin. Rutinitas biasa kujalani karena harus masuk kuliah di hari Senin. Berita teraktual masih seputar bom, fakta-fakta mengejutkan tentang pembom, dan isu-isu yang bersangkutan dengan itu.

Dan ketakutan berpuncak pada menyebarnya video pemboman di Polrestabes Surabaya…. 😭

Ya Allah, kami tau kematian adalah sebuah kepastian, datangnya pun tak perlu pemberitahuan. Jika suatu saat ajalku datang, mohon Ya Allah ambillah aku saat sedang berbuat kebaikan, sedang berjuang mengamalkan ketaatan dan pada saat hatiku telah bersih dari kebencian. Aamin..🙇

Surabaya, 14 Mei 2018

Memenuhi undangan: Mengulas Mahar untuk Matahari #Penuhterimakasih

“….Katanya bertani itu pekerjaan paling mulia, pekerjaan yang ngingetin kita terus pada peranan Allah, bikin kita terus berharap dan bersyukur…”
–Mahar Untuk Maharani: 198–

Selalu dan selalu saya dibuat gemas oleh karya Kak Azhar. Entah kenapa, setiap kali membacanya, tokoh utama laki-laki yang tergambar adalah sosok Azhar Nurun Ala yang masih belum (mungkin dalam proses) memenangkan hati Si Dia – perempuan yang juga selalu menjadi imajinasi saya saat membaca tokoh utama wanita. Ceritanya ringan, tapi pesan tersiratnya sungguh mengagumkan. Kak Azhar dan Kak Vidia, terimakasih telah menyusun 26 alfabet menjadi ratusan halaman dengan kisah sederhana, semakin sempurna dengan petuah luar biasa – dan tetap sederhana meski menyimpan berjuta makna.

Apa yang diceritakan di Mahar untuk Maharani, membuat saya merasa sangat berterimakasih kepada seluruh petani, yang sudah berjuang dengan segala peluh, bersabar atas nama kepasrahan, menumbuhkan dengan bijaksana benih-benih yang ditabur, hingga terhidanglah sepiring nasi di meja makan setiap hari. Bukankah kalau begitu, petani adalah pekerjaan yang paling banyak menuai amal jariyah kelak di akhirat? Karena berkat keikhlasannya, semua orang akan mempunyai kekuatan untuk menuntut ilmu, mengejar cita mereka. Dan mungkin jika Tuhan tidak menciptakan petani, mereka semua tidak akan tercukupi energi? Ah, Salman dan seluruh petani di dunia, semoga keridhoan kalian mengurus sawah dan ladang di dunia, kelak akan digantikan dengan panen yang sangat melimpah di Surga-Nya.. Amin.

Saya rasa, Mahar untuk Maharani ini bisa dijadikan referensi –khususnya bagi para Sarjana Pertanian–, bahwa menjadi petani bukanlah aib, bukanlah sesuatu yang memalukan sehingga harus secepatnya memutus keahlian bertani pada keturunan. Dan yang terpenting, menjadi petani adalah ladang amal bagi amalan ikhlas, syukur dan sabar.
Tentang cinta, saya tidak lagi bisa berkata-kata. Menerima penolakan saat sedang berjuang memang sangat berat, aku dan kamu tidak akan kuat, biar Salman saja. Jodoh memang sudah ada di tangan Tuhan, tapi apa salahnya berusaha? Meski harus berdarah-darah saat berjuang dan berair mata saat mendapat kenyataan? Itulah takdir. Itulah rahasia. Dan tugas kita hanyalah sebatas usaha…
Tulisan ini diketik saat hampir menjelang deadline, ditengah sibuknya menjadi mahasiswa PPL, serta terbacanya satu buku dalam satu waktu. Sedikit memaksa memang, bukan prioritas menang, hanya sebagai ungkapan terimakasih kepada para petani yang selalu bisa membuat kami kenyang. Juga buat dek Maharani yang rela minjemin buku barunya -yang masih perawan-, semoga S.Pd-nya segera tertaut sah mengikuti nama belakang yak… 🙂

Sekali lagi, saya ucapkan terimakasih tak terhingga, atas karya sederhana yang tak biasa. Terakhir, untuk kamu yang sedang berjuang, tidak ada alasan untuk tak melanjutkan. semoga berhasil. 🙂

Surabaya, 7 Februari 2018

23.45

PPG-SM3T D-1

Hari pertama PPG

Mendapatkan kamar di lantai 5 Rusunawa Unesa kuanggap sebuah anugerah, bahwa aku akan belajar banyak atas nama ‘persiapan dan ketidaktergesagesaan’. -premis 1.
Atau sebaliknya, jangan2 lantai 5 membuatku semakin malas dan hampir tidak pernah menginjakkan kaki disana karena ada kos kawan yang buka 24 jam, kapanpun, jam berapapun. – premis 2.

Tapi sejujurnya, premis 1 lah yang kuharapkan akan bisa kuambil nilai pelajaran sabar menjalani setahun ke depan. 🙏

HARI 1. (8 Februari 2018)
Oke, ini sebenarnya adalah hari yang selalu ditunggu2 sejak 5 bulan lalu. Dan jadwal dari pusat memang dari tanggal 1-2 harus di asrama, tapi apalah daya pemerintah yang suka PHP dari jaman kita di SM-3T. Jadwal mundur sampai tanggal 8. Yeeyy…pulang lagi. 🙆

Premis 2 berkontribusi.
Tanggal 7 sore berangkat ke Surabaya bareng si Restu, eh ternyata sampai Sepanjang harus pindah sama Mandala karena ban nya kempes. Setelah naik bis ijo (depan PLN) dan len dari Joyoboyo akhirnya jalan do tengah gerimis agak deras menuju kos teman di Lidah Wetan gang 5. Oke, sampai disana keterusan sampek pagi, pasalnya si empunya kos pada pulang. Jadilah semalam itu aku tidur sendiri di kos orang, dan sepeda motornya aku bawa. Yess. 😅

Kamis, 8 Februari 2018
Rencana jam 6 pagi menuju asrama, apalah daya, 06.30 baru terealisasi. Dan betapa terkejutnya hati hamba, di lantai satu sudah berserakan mahasiswa PPG pakai hitam putih, dan aku masih pake jaket, training, sendal jepit baru parkir motor.. 😂
Naik tanggal santai, sampai lantai 5 buka lemari, dan…
1. Baju belum disetrika
2. Baru ingat jilbab hitam ketinggalan di kos
3. Sepatu pantofel juga ketinggalan, tapi masih ada sepatu lain.

Aku berusaha menenangkan diri sih, sambil berdoa. Dan tiba2 Tuhan mengirimkan malaikatnya lewat tetangga kamar yang mengambilkan hp di kamarku. Dan alhamdulillah, teman selamat nya ada yang punya jilbab hitam lagi.. 😁

sejujurnya aku santai sih ya, mau telat juga paling gitu2 aja kalau dosen yang ngambil alih kegiatan..(atas dasar pengalaman selama kuliah). Jadwal juga mulai materi jam 08.30. Aku semakin santai karena naik motor.. Tapi apalah daya, ternyata petinggi2 kampus sudah pada hadir dan aku telat.. 😂😂

Kecerobohan pertama terselamatkan, karena masih banyak pemakluman. ..🙇
Semoga esok lebih disiplin.. ☺

#PPGpascaSM3TVIUNESA

Menuju 1 Muharram 1439 H

Catatan lama.

Ngaji hari ini.
Sepanjang pagi selama 2,5 tahun terkahir ini memang aku tinggal di pondok. Tapi, hanya beberapa pagi yang berhasil kutuntaskan dengan ikut mengaji dan tidak tidur (ketiduran) di tengah penjelasan.
Dimulai dari doa dan memaca AlQuran yang langsung dipimpin ustadz, kemudian ‘maknani’ (mengartikan kitab dengan bahas Jawa, tulisan Arab pego, nulisnya miring kekiri bawah) dan baru dijelaskan tentang kandungan ayat.

Kebetulan pagi ini, saat bangun tiba2 bagian kiri tubuhku kesemutan total, sampai tangan rasanya bengkak dan gak bisa digerakkan. Dan akhirnya telat jamaah Subuh. Gara2 itu, aku dan 2 temanku yang senasib akhirnya memutuskan untuk jamaah sendiri di kamar. Dan setelah itu, kita saling menguatkan pendapat agar tidak kena takzir. 😁 tapi memang kita tidak berniat bangun telat kok… 🙏. Karena dari pagi sudah ribut, akhirnya mata benar2 melek dan bisa menyimak penjelasan ustadz sampai tuntas.

Tafsir surat Al-A’raf ayat.
Beliau mengawali penjelasan dengan memunculkan pertanyaan, Misalkan ada truk besar, berisi pasir penuh didorong oleh 5 orang apakah bisa berjalan? Diteruskan dengan penawaran 10 sampai 20, karena banyak santri yang menjawab belum bisa berjalan karena terlalu berat. Meneruskan penjelasan, bahwa ada satu orang yang kuat menjalankan truk berat itu, yaitu orang yang membawa kunci”.

Kunci disini dianalogikan sebagai Allah, motivasi terbesar penggerak hati manusia untuk melakukan suatu kebaikan. Allah…hanya dengan mengingat Allah hati menjadi tenang. Ingat Allah di setiap hal memang hal kecil, sepele dan ‘sepertinya’ mudah serta simpel untuk dilakukan, namun jika tidak di biasakan sama saja banyak lupanya.
Mengingat Allah dalam segala hal, sama saja kita memegang kunci, kecil tapi berpengaruh besar.

Di akhir penjelasan, saya sadar hanya berapa aktivitas selama 24 jam ini yang diawali dengan mengingat Allah. Padahal, tak sedetik pun selama 24 jam kita dilalaikan Allah, bahkan saat kita bermaksiat sekalian pun.

Maha Besar Allah atas segala firman Nya.
Di suatu Subuh, 16 Maret 2016

​Sumba 12 (bertemu saudara) 

Aku memang sudah tau, kalau berada di Kecamatan Lewa Tidahu. Namun 
sesungguhnya aku tak tau dimana lokasi tepatnya jika dilihat dari peta, ya karena sejak seminggu lalu benar-benar kehilangan signal dan jaringan. Setelah hidup dengan bekal kecap dan royko, akhirnya akan datang waktu juga melihat ke penempatan kawan terdekat, SDI dan SMPN Satap Praimarada. Entah siapa yang disana, aku juga belum tau. Yang pasti, hari ini, Jumat 9 September 2016 adalah hari pertama keluar dari penempatan. Rencana memang akan pergi ke Kontrakan yang berada di Kota Waingapu, naik bis dan berangkat pukul 12.00 (kabar yang dibawa Pak Guru dari kawan yang di Satap). Menurut informasi, nama kawan yang disana adalah Yulita (kawan sejurusan PGSD) dan Luluk (belum tau yang mana). 

Pukul 09.00 Wita, kami diantar Pak Guru dan Bapak Elda naik motor ke Satap. Butuh waktu sekitar satu jam, melewati jalan bekas sawah yang kering, langgar kali yang airnya masih batas bawah lutut, ikut pematang, naik bukit, turun bukit, dilanjutkan menyusuri aspal yang banyak mengelupas. Dan yakk…sampailah kami disana. Sampai depan mess, tiba-tiba hape berbunyi: Thing Thing, Thing Thing.. Nada sms khas Nokia punya. Bahagia jelas lah… 😅 Dan muncullah seorang guru muda, datang dan langsung memeluk, seraya menyapa sok kenal.. Mbakk… 👧 dan inilah namanya Luluk Imasnuna, S1 Pendidikan IPA. Mengobrol basa-basi, seputar kehidupan kami di penempatan masing-masing. Dan benar saja, kawan satu adalah Yulita Widyaningrum, kawan PGSD yang dulunya jujur saja, hanya sekadar tau tanpa kenal, karena memang tidak pernah satu kelas. 

Oh ya, siswa di sini sangat ramah-ramah, berbeda dengan siswa di SD Mondu Lambi. Kita baru datang saja langsung disapa, Selamat pagi Ibu, Ibu…Bucan.. Dan masih banyak lagi. Em… Dan ternyata, di Satap ini memang sudah 6x dapat guru SM-3T, maklum lah…mereka sedikit banyak sudah beradaptasi dengan orang baru. Kalau di penempatanku kan, baru pertama kali. Mungkin masih malu, dan yang pasti masih belum terlalu lancar berbahasa Indonesia. Terima saja, penempatan yang menentukan kan Tuhan, melalui kepanitiaan SM-3T pusat. 🙏

Pak guru akhirnya pamit, karena masih ada kepentingan yang harus diselesaikan. Jam telah menunjukkan pukul 11.00, bus yang kami pesan sudah tiba, Ende Manis menjemput kami berempat dan siap membawa kami ke kota. Kanan kiri yang terlihat hanya tumbuhan belukar, kadang-kadang juga rumah alang, kadang rumah menara, jalan berbatu dan belum ada asyik-asyiknya, kecuali…turus berbaris dan bertuliskan Telkomsel! Yakkk… Ternyata sepanjang jalan ini ada sinyal, meskipun ilang-ilang juga sih. 😦 Di tengah jalan, ternyata naik lagi satu kawan SM3T yang mengajar di SMPN Satap Kangeli, guru Bahasa Inggris, Silfiya Ilma Rosyida; belum kenal juga. Aku nya sih cuek..mengantuk sih.. Jalan rusak membuatku ingin tidur saja. Bapak Ende Manis sepertinya sudah hafal sekali kita mau turun mana, Kontrakan SM-3T Waingapu, yang katanya di Jalan HR Horo. 

Entah oto berputar kemana saja, pukul 15.00 wita kami sampai kontrakan. Kata pertama yang selalu kuingat adalah “Motul”, stiker tertempel di kaca hitam depan. Sudah ramai orang. Dan sungguh terkejut, aku baru sadar ternyata sinyalnya 4G. 😄. Maka nikmat Tuhan mana lagi yang kamu dustakan? Hehehe

​Sumba11 (nama yang hilang)

Nama bapak disini aneh-aneh. Banyak yang seperti perempuan. Bapak Elda, Bapak Tuti, Bapak Putri, Bapak Rambu, dan masih banyak Bapak-bapak lain. Begitupun, nama Mama-Mama malah juga banyak seperti laki-laki, Mama Yanto, Mama Hesron, Mama Alfris, Mama Viken, dan banyak lagi. Menghubung-hubungkan nama mereka, hipotesis yang kudapat adalah nama itu adalah nama anak pertama, yang selanjutnya menjadi nama tetap orangtuanya. 
Kata Pak Guru, memang benar begitu. Jika seseorang telah menikah dan mempunyai anak, maka nama asli orangtua jadi hilang, melebur menjadi nama anak pertama. Misal, anak pertama adalah Putri, maka Bapaknya Putri otomatis sejak kelahiran Putri  akan dipanggil Bapak Putri dan Mama Putri (bukan Ibu Putri, karena Ibu panggilan kepada wanita karir, 😁). 

“Lalu, kenapa Bapak tidak dipanggil Bapak Eman? Kan anak pertama Bapak namanya Eman?”, tanyaku.

“Ya…orang-orang ada yang memanggil begitu, tapi kerena profesi maka orang lebih banyak memanggil Pak Guru. Dan orang Sumba, jika memiliki profesi, nama yang ditulis dan dipanggil tetap nama asli, meskipun sudah punya anak. Memudahkan dalam administrasi. Tapi, kalau sudah di masyarakat, ya…kembali lagi memakai nama sebutan anak pertama. Kadang saja, Ibu Mery, mamanya Putri, sering dipanggil Ibu Mama Putri daripada Ibu Mery. Hahaha”, jawab beliau. 

“Lah kalau mohon maaf, misalnya ada bayi lahir tanpa diketahui bapaknya, atau tau bapaknya tapi tidak mau bertanggung jawab?”, selidikku lagi. 

“Kalau itu beda lagi, nama anak pertama resmi disematkan menggantikan nama asli orangtuanya jika memang mereka berdua sudah menikah, atau minimal urusan adat. Jika belum , ya hanya nama Mama nya saja yang diganti anak pertama. Nah, kemungkinan berubah pikiran kan pasti ada, Si Bapak yang tadinya tidak mau bertanggungjawab ternyata tiba-tiba mengakui bahwa itu anaknya. Kalau sudah begini, lanjut urusan adat, kedua belah keluarga sepakat, maka resmilah si laki-laki mendapat nama kehormatan, anak pertamanya. Begitu…”. 

“Menikah adat? Maksudnya Pak?”, 

“Jadi, kalau di Sumba selain menikah gereja yang sah diakui negara, masih ada yang namanya nikah adat. To be continue….. “. 

Begitulah, nama anak pertama memang istimewa. Jangan sampai, nama Bapak Glen, ruko berjalan yang sampai sekolah sebenarnya juga nama anak nya? 😮. 
Edisi adat nikah dan Bapak Glen, tunggu di episode berikutnya. 😁

Kafa (1) perhatian berlebih

Ini ceritanya pas gue lagi di dapur bantuin emak nyiapin buka puasa..
Sebut saja namanya Kafa, adek gue yang masih duduk di bangku sekolah kelas 5 SD, dianugerahi karakter yang paling unik dan menggelitik…yang tingkahnya kadang bisa buat darah naik. Tapi konyol.

Dia ini nih, yang bakal jadi tokoh utamanya.

Kemarin, gue baru disuruh beli counterpa*n sama emak..buat ngobatin kaki adek gue satunya, kesleo, habis jatuh dari sepeda..

Emak tanya,

“Fa, counterpa*in nya dimana?”

“Itu, di samping TV”

Dengan nada yg agak kaget, emak gua tanya lagi.

“Lho?? Kok tinggal setengah?, kamu buat mainan ya Fa?”

“Nggak i..” jawabnya santai

“Le.. (panggilan Jawa untk anak laki2) obat ini itu harganya mahal, kalau pakai sedikit saja..kulitmu gak kuat, nanti gosong2 lho.. kamu pakai dimana aja?”

“Enggak aku pakai ma..”

“Terus??”

“Kucing.”

“Kucing????”

“Iya, jadi gini..tadi itu aku mainan lari2..ehh…gak taunya nginjek kakinya kucing..terus jalannya pincang. Aku kasian, kan katanya harus bertangungjawab kalau berbuat salah.. yaudah, counterpa*n nya tak buat ngobatin kaki kucing..biar cepet sembuh”, jelasnya dengan nada meyakinkan.

“Masyaallah…Le…Le..??, obat e kucing i ya bukan counterpa*n keleesss??? —–!..dan panjang urusanya sama emak..

Dinasehatin sampai imsak kali tu..haha..

Gue gak bisa nahan tawa, tapi sebisa mungkin gue tahan…soalnya gak etis banget kan, masak emak lagi marah2, gua malah ketawa??? 😀

adek gue satu itu emang tingkahnya super sekalee..

Jiwa sosialnya memang tinggi banget, kadang sampai kebangetan yang menimbulkan kesalahan tempat (dholim).. haha.

Pernah juga kapan hari, obat ketiak gue yang kemasannya saschet, dibuat minyak rambut..

Alamak…alhasil dah.. rambut kepala rasa ketiak.. mau marah sebenernya, tapi sumpah..gua gak pernah bisa marah sama tu anak,

Sayang banget gua sama dia..

Sama adek gua yg lainnya juga pastinya.

#titikduabintang

(Tulisan lama, sekarang Kafa sudah kelas 7 MtsN, mau naik kelas 8)